Rabu, 13 Februari 2013

Seonggok Sampah Itu Harus Cepat Dibuang!!


Aku terbaring di atas lantai kamar. Mataku menerawang memandang langit-langit kamar yang telah banyak sarang laba-laba di sana. Fikiranku melayang memikirkan hal yang terjadi kepada diriku beberapa jam yang lalu.
          “Eh…. Aku mau kumpulin uang buat beli sepeda lipat. Soalnya aku suka goes. Nantikan bias goes ke mana-mana.” Seorang diantara temanku menyelatuk, namanya irma.
          “Katanya mau goes ke kaliurang?. Besok aku tunggu di kaliurang. Jadinya aku nggak ikut dari awal.” Irrul juga menyeletuk. Dan aku masih menjadi pendengar setia.
          “Iya, tapi nunggu aku beli sepeda lipat dulu!!” Irma menimpali ucapan Irrul.
          “Lho… goeskan nggak perlu pakai sepeda lipat, yang penting pakai sepeda onteol.” Ima juga mengikuti obrolan itu.
          “Iya Ir, kenapa harus pakai sepeda lipat? Sepeda ontel biasakan nggak papa.” Kali ini Ina angkat bicara.
          “Lha nggak ada sepeda ontel di rumahku. Adanya sepeda balap dan itupun tinggi sekali. Aku nggak nyampai.”
          “Ya nggak papa, asalkan sampai ke pedalnya.”
          Obrolan itu terus berlanjut hingga aku membuka suara, “Aku punya pengalaman tentang sepeda!!” semua terdiam. Tak ada suara dari mereka memperhatikan perkataanku. Mereka asyik dengan pekerjaan masing-masing.
          Kuulangi kembali perkataanku, “Aku punya pengalaman tentang sepeda. Aku pernah jatuh gara-gara....”
          “Kamu ngomong sama siapa sih, Il.?” Tiba-tiba ima menyeletuk dengan tiba-tiba.
          “Nggak tau, sama setan mungkin!!” setelah kujawab pertanyaan itu, segera kubalikkan badanku membelakangi mereka. Ternyata ucapanku hanya sia-sia. Seperti angin lalu saja. Tak ada yang memperhatikan.
          Satu kata keluar dari mulutku, ‘BENCI’. Kenapa ini terjadi kepadaku?. Apa salahku?. Ketika aku mengatakan sesuatu, tak seorangpun memperhatikan atau mendengarkan perkataanku. Semuanya sibuk dengan diri masing-masing. Padahal sebelum itu mereka asyik mengobrol dan aku mendengarkannya. Tetapi, ketika keluar satu kata dari mulutku, lantas semuanya diam. Diam tanpa ada kata-kata.
          Ketika orang selain diriku berkata, yang lain antusias mendengarkan dan memperhatikan perkataan itu. Dan jika ucapan itu mengandung unsure humor, serentak mereka tertawa terbahak, merasa senang dan terhibur.
          Lain dengan diriku, kubuat selucu apapun perkataanku itu, tak pernah ada yang mendengarkan. Bagaimana bias tertawa? Mendengarkan saja tidak. Lagipula jika mereka tertawa, itu hanya tawa yang dibuat-buat. Tawa yang mengejek yang mungkin artinya ‘Haaa…… nggak lucu tau. Dari pada nggak lucu, mending nggak usah ngomong aja deh. Bosen tau!!.’ Betapa sakit hati ini merasakannya.
          Apakah suaraku ini jelek?. Apakah suaraku ini tak pantas untuk didengarkan?. Atau aku hanya mencampuri urusan kalian saja?. Dan apakah aku ini sebagai pengganggu bagi kalian??.
          Ya… aku tak lucu. Aku tau itu. Tapi apakah kalian tak menghargai sedikitpun perkataanku itu. Hanya mendengarkan saja aku sudah bersyukur. Tapi tak ada yang mendengarkan. Sungguh pilu hati ini.
          Aku benci. Apakah aku akan selalu diperlakukan seperti ini??. Selalu dianggap bahwa aku tak ada. Dan mungkin tak kan pernah ada bagi kalian. Aku hanya orang yang berwujud tapi tak terwujud. Tak pernah terasa kehadadiranku. Aku hanya seperti angin lalu bagai kalian. Huft, perlahan air mata menetes. Pedih. Sangat pedih.
          Air mata ini saksi kepedihanku. Saksi kesendirianku. Aku yang selalu sendiri. Sendiri dengan kepedihan, kesepian, kepiluan, yang selalu ada. Tak pernah ada yang mau berteman denganku, menemani hari-hariku, meninggalkan memori-memori terindah yang tak pernah terlupakan. Tapi itu takkan pernah ada. Takkan pernah terwujud. Hanya impian-impian yang terlalu tinggi. Huft, sangat tinggi, hingga aku tak dapat meraihnya.
          Aku ingin mengahiri hidup ini saja. Ingin mati saja. Tak ada guna aku masih hidup di tengah-tengah dunia ini. Tak ada yang mempedulikanku. Aku hanya akan sendiri. Bahkan, jika aku mati sekalipun tak berpengaruh pada mereka. Malahan mereka turut senang mendengar berita kematianku. Aku tak berguna.
          Apakah aku ini hanya akan menjadi seperti seonggok sampah?. Kalian tau apa itu sampah?. Sampah tak akan ada gunanya, jika hanya didiamkan saja saja. Yang pantas dilakukan dengan sampah hanya dibuang. Percuma seonggok sampah itu hanya untuk disimpan. Sampah itu akan membusuk. Dan keindahan yang sebelumnya ada akan musnah, menimbulkan bau tak sedap yang akan meracuni jiwa-jiwa yang menciumnya. Dan membuatnya mati. Mati tak bernafas. Hanya karena sampah.
          Dan seonggok sampah itu harus dibuang secepat-cepatnya, sejauh-jauh mungkin, hingga tak tercium oleh hidung dan tak terlihat voleh mata.
          Ya…. Aku hanyalah seonggok sampah itu. Sampah tak berguna yang pantas dibuang. Dibuang dari hadapan mata-mata yang melihatnya. Musnah. Musnahlah diriku.
          Airmata ini semakin deras mengalir, melalui pipiku dan membasahi bajuku. Aku tenggelam dalam kesedihan. Lam. Lama sekali. Hingga seorang masuki. Cepat-cepat kuhapus air mata itu, seolah tak terjadi apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar