Aku terbaring di atas
lantai kamar. Mataku menerawang memandang langit-langit kamar yang telah banyak
sarang laba-laba di sana.
Fikiranku melayang memikirkan hal yang terjadi kepada diriku beberapa jam yang
lalu.
          “Eh…. Aku mau kumpulin uang buat beli sepeda lipat. Soalnya
aku suka goes. Nantikan bias goes ke mana-mana.” Seorang diantara temanku
menyelatuk, namanya irma.
          “Katanya mau goes ke kaliurang?. Besok aku tunggu di
kaliurang. Jadinya aku nggak ikut dari awal.” Irrul juga menyeletuk. Dan aku masih
menjadi pendengar setia.
          “Iya, tapi nunggu aku beli sepeda lipat dulu!!” Irma
menimpali ucapan Irrul.
          “Lho… goeskan nggak perlu pakai sepeda lipat, yang penting
pakai sepeda onteol.” Ima juga mengikuti obrolan itu.
          “Iya Ir, kenapa harus pakai sepeda lipat? Sepeda ontel
biasakan nggak papa.” Kali ini Ina angkat bicara.
          “Lha nggak ada sepeda ontel di rumahku. Adanya sepeda balap
dan itupun tinggi sekali. Aku nggak nyampai.”
          “Ya nggak papa, asalkan sampai ke pedalnya.”
          Obrolan itu terus berlanjut hingga aku membuka suara, “Aku
punya pengalaman tentang sepeda!!” semua terdiam. Tak ada suara dari mereka
memperhatikan perkataanku. Mereka asyik dengan pekerjaan masing-masing.
          Kuulangi kembali perkataanku, “Aku punya pengalaman tentang
sepeda. Aku pernah jatuh gara-gara....”
          “Kamu ngomong sama siapa sih, Il.?” Tiba-tiba ima
menyeletuk dengan tiba-tiba.
          “Nggak tau, sama setan mungkin!!” setelah kujawab
pertanyaan itu, segera kubalikkan badanku membelakangi mereka. Ternyata
ucapanku hanya sia-sia. Seperti angin lalu saja. Tak ada yang memperhatikan.
          Satu kata keluar dari mulutku, ‘BENCI’. Kenapa ini terjadi
kepadaku?. Apa salahku?. Ketika aku mengatakan sesuatu, tak seorangpun
memperhatikan atau mendengarkan perkataanku. Semuanya sibuk dengan diri
masing-masing. Padahal sebelum itu mereka asyik mengobrol dan aku
mendengarkannya. Tetapi, ketika keluar satu kata dari mulutku, lantas semuanya
diam. Diam tanpa ada kata-kata.
          Ketika orang selain diriku berkata, yang lain antusias
mendengarkan dan memperhatikan perkataan itu. Dan jika ucapan itu mengandung
unsure humor, serentak mereka tertawa terbahak, merasa senang dan terhibur.
          Lain dengan diriku, kubuat selucu apapun perkataanku itu,
tak pernah ada yang mendengarkan. Bagaimana bias tertawa? Mendengarkan saja
tidak. Lagipula jika mereka tertawa, itu hanya tawa yang dibuat-buat. Tawa yang
mengejek yang mungkin artinya ‘Haaa…… nggak lucu tau. Dari pada nggak lucu,
mending nggak usah ngomong aja deh. Bosen tau!!.’ Betapa sakit hati ini
merasakannya.
          Apakah suaraku ini jelek?. Apakah suaraku ini tak pantas
untuk didengarkan?. Atau aku hanya mencampuri urusan kalian saja?. Dan apakah
aku ini sebagai pengganggu bagi kalian??.
          Ya… aku tak lucu. Aku tau itu. Tapi apakah kalian tak
menghargai sedikitpun perkataanku itu. Hanya mendengarkan saja aku sudah
bersyukur. Tapi tak ada yang mendengarkan. Sungguh pilu hati ini.
          Aku benci. Apakah aku akan selalu diperlakukan seperti
ini??. Selalu dianggap bahwa aku tak ada. Dan mungkin tak kan pernah ada bagi kalian. Aku hanya orang
yang berwujud tapi tak terwujud. Tak pernah terasa kehadadiranku. Aku hanya
seperti angin lalu bagai kalian. Huft, perlahan air mata menetes. Pedih. Sangat
pedih. 
          Air mata ini saksi kepedihanku. Saksi kesendirianku. Aku
yang selalu sendiri. Sendiri dengan kepedihan, kesepian, kepiluan, yang selalu
ada. Tak pernah ada yang mau berteman denganku, menemani hari-hariku,
meninggalkan memori-memori terindah yang tak pernah terlupakan. Tapi itu takkan
pernah ada. Takkan pernah terwujud. Hanya impian-impian yang terlalu tinggi.
Huft, sangat tinggi, hingga aku tak dapat meraihnya.
          Aku ingin mengahiri hidup ini saja. Ingin mati saja. Tak
ada guna aku masih hidup di tengah-tengah dunia ini. Tak ada yang
mempedulikanku. Aku hanya akan sendiri. Bahkan, jika aku mati sekalipun tak
berpengaruh pada mereka. Malahan mereka turut senang mendengar berita
kematianku. Aku tak berguna.
          Apakah aku ini hanya akan menjadi seperti seonggok sampah?.
Kalian tau apa itu sampah?. Sampah tak akan ada gunanya, jika hanya didiamkan saja
saja. Yang pantas dilakukan dengan sampah hanya dibuang. Percuma seonggok
sampah itu hanya untuk disimpan. Sampah itu akan membusuk. Dan keindahan yang
sebelumnya ada akan musnah, menimbulkan bau tak sedap yang akan meracuni
jiwa-jiwa yang menciumnya. Dan membuatnya mati. Mati tak bernafas. Hanya karena
sampah.
          Dan seonggok sampah itu harus dibuang secepat-cepatnya,
sejauh-jauh mungkin, hingga tak tercium oleh hidung dan tak terlihat voleh
mata.
          Ya…. Aku hanyalah seonggok sampah itu. Sampah tak berguna
yang pantas dibuang. Dibuang dari hadapan mata-mata yang melihatnya. Musnah.
Musnahlah diriku.
          Airmata ini semakin deras mengalir, melalui pipiku dan
membasahi bajuku. Aku tenggelam dalam kesedihan. Lam. Lama sekali. Hingga
seorang masuki. Cepat-cepat kuhapus air mata itu, seolah tak terjadi apa-apa.